Bumi
gonjang-ganjing, langit pun mulai terbanting-banting, ketika kelahiranku siap
ke dunia berbagai macam sumpah doa mengiriku, seperti alunan music yang merdu
yang dimainkan oleh pemusik terbaik dunia ketika itu. Tepat 3 juni 1987 aku pun
terpaksa dan dipaksa untuk dilahirkan ke dunia, padahal kalau diberi pilihan
lebih memilih tidak dilahirkan ke dunia dan tinggal di surga sana, ya inilah
ikhlas dengan cara terpaksa dan dipaksa. Terlahir kedunia dalam keadaan yang
baik, langsung beragama Islam, padahal ketika terlahir ke dunia saya belum
mengucapkan syahadat, tapi sudah masuk Islam, hebat bukan, Islam turunan yang
mendarah daging di setiap masyarakat Indonesia ini, setidaknya bisa saya
banggakan.
Terlahir
sudah, maka kedua orang tua saya pun bersujud syukur dengan cara aqiqah atau
dalam istilah lain syukuran, tidak ada organ tunggal atau acara hiburan dalam
acara syukuran, dengan cara yang sederhana orang tua saya melakukannya. Hari
Sulistyono, entah bagaimana nama itu muncul di benak orang tua saya, melalui
apa saya juga tidak mengetahuinya, tiba-tiba nama itu di berikan dari yang Maha
Kuasa kepada saya melalui orang tua saya, dan saya harus menerimanya. Doa orang
tua saya, semoga anaknya bisa berguna bagi agamanya, orang tuanya, keluarganya
dan bangsanya. Doa yang meluluhkan hati anaknya yang mendengar doa orang
tuanya. Menangis sudah pasti.
Seiring berjalannya waktu keluarga saya menetap di
Bekasi, diperkirakan tahun 1989, bersekolah di TK An – Nur, lalu orang tua saya
menyuruh saya kembali bersekolah di SDN Mekarsari 2, dan lagi-lagi orang tua
saya menyuruh saya untuk kembali melanjutkan studinya di SMPN 1 Tambun Selatan,
lalu dilanjutkan ke SMAN 1 Tambun Selatan. Semua serba angka satu seperti Allah
yang satu. Lulus dari SMA, melanjutkan kembali ke UNJ (Universitas Negri
Jakarta) mengambil bidang studi pendidikan Agama Islam. Mengambil studi
tersebut karena tidak ingin dipanggil sebagai orang yang terlahir Islam karena
turunan.
Melanjut
ke awal perjuangan kuliah, kuliah, itulah kata yang selalu ada di benak saya ketika masa SMA telah
di lalui dengan susah payah (waktu itu syarat lulus UN masih 3.01). Setelah itu
banyak sekali lembaran – lembaran undangan untuk masuk ke universitas ataupun
sekolah tinggi baik yang negeri maupun swasta menghampiriku. Tanpa sengaja saya
melihat ada lembaran undangan dari UGM (wow UGM), langsung saja saya fokus
untuk melihat ternyata ada penerimaan mahasiswa baru di UGM.
Dengan semangat juang 45 (tanpa was wes wos)
langsung di ambil undangan tersebut dan
mengikuti tes seleksi menuju UGM bersama dua teman baik saya, Fatio Hidanto dan
Sarjana hadinata (padahal belum S1 sudah dapet gelar sarjana…saluut). Kami
bertiga menuju UGM dengan menaiki kereta api bisnis menuju Yogyakarta. Kaki
kanan dan tak lupa bismilah sebagai ritual naik kereta kami lalui, lalu kami
mencari nomor tempat duduk kami dan berhasil, kami telah menemukan tempat
duduknya.
Kami duduk dengan santai dan melihat
sekeliling kereta, kami terkejut ternyata yang naik kereta ini semua ingin
mengikuti ujian saringan masuk UGM (wow…wow saya sudah bilang wow loh ?!).
Sepertinya mereka sangat serius sekali agar bisa diterima di UGM, di dalam
kereta saja mereka mengeluarkan buku matematika, bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris. Mulut buka tutup menghafalkan ratusan rumus matematika, seperti mantra
yang keluar untuk mengutuk semua penghuni kereta, luar biasa. Lain halnya
dengan kami, dengan modal semangat kami mengambil tas dan mengeluarkan buku
sakti dan pulpen, buku sakti itu adalah TTS (teka teki silang), kami membeli
TTS biar tidak bosan dalam perjalanan menuju yogya. Yang serius tetap serius,
yang ngawur pengen serius juga susah, akhirnya begini Cuma mengeluarkan TTS.
Perjalanan kami menuju yogya di lakukan pada
malam hari, sengaja kami lakukan perjalanan di malam hari agar bisa merasakan
suasana malam yang sunyi, tapi suasana sunyi tidak bisa kami rasakan, yang
terasa hanya suara mantra rumus yang membisingkan telinga (hello plis deh…
bacaanya dalam hati ajah). Untungnya mata kami sudah mulai lelah dan akhirnya
pulas dalam alunan mantra tidur.
Pagipun mulai tiba, mata mulai dapat melihat
dalam radius 10 cm (matanya masih ada lem perekat jadi jarak pandang hanya 10
cm), kami pun terkejut, dalam kereta bisnis pun ada anggota chery belle membawa
kecrekan, si laura namanya (Lanang ora wedok ora). Kami pun tertawa mendengar
lagunya yang lucu sangat. Tak berapa lama mba Laura menghampiri kursi kami dan
menggoda kami, sambil berkata,” bayarannya dong mas ?”. kami pun segera
mengeluarkan uang dari kantong dan segera memberi kepada mba Laura. Untungnya
mba Laura segera pergi (emangnya kami cowok apaan).
Tiba di stasiun kota yogya kami segera menuju
penginapan, beristirahat, cari makan agar lagu kroncong dan pop dalam perut
kami hilang seketika. Perut kenyang maka tenaga pun datang, setelah kenyang
kami langsung menuju UGM untuk menyerahkan semua berkas mengikuti ujian masuk.
Kami di sambut dengan alunan campur sari seperti kami ini adalah raja Jawa yang
sedang memantau UGM.
Semua lancar tinggal menunggu ujian tiba,
selama menunggu ujian kami hanya mengisi dengan mencari pengalaman di Yogya,
kami ke alun-alun, pasar beringharjo serta tak lupa mengunjungi kraton Yogya,
walaupun hanya bisa di lihat dari luar, kami cukup senang melihatnya. Belajar
dalam ujian pun kami semampunya, kami pelajari dengan se-efektif mungkin.
Diterima Alhamdulillah, tidak di terima ya di syukuri, siapa tahu tidak
diterima di UGM malah di terima di UI. (pikirku ketika itu, Positif thinking
selalu)
Waktu ujian tiba, untungnya kami bisa dalam
satu tempat dalam pelaksanaan ujian masuk UGM, suasana ruang ujian pun tak jauh
beda dengan suasana di kereta, banyak sekali mantra yang berterbangan di langit
- langit serta wajah – wajah serius seakan tidak ingin di ganggu oleh
kedatangan kami. Untungnya bel pelaksanaan ujian pun berbunyi (gara-gara bel
suara mantra hilang dan wajah tegangpun terlihat menakutkan).
Penguji masuk kedalam ruangan, satu, dua,
tiga, empat dan lima (masyaallah pengawasnya ada lima makin tegang pula wajah
peserta ujian). Soal dibagikan, dalam satu ruangan soal pun berbeda dengan yang
di sebelah kanan, kiri, depan dan belakang. Saya melihat ekspresi tiap wajah
yang mengikuti ujian, cemas, panik, khawatir terisi dalam satu wajah (nah loh
seperti apa itu…). Di awali dengan bismillah saya membuka lembaran soal demi
soal. Semua soal saya jawab, tapi anehnya soalnya tidak ada habisnya (ternyata
sesi 1 jumlah soal ada 200 soal dan baru terisi 100 soal). Alhamdulillah sesi
pertama selesai pada pukul 11.30, sesi 1 hanya di beri waktu 3,5 jam. (ternyata
1 soal di beri waktu 1.05 menit).
Ujian 3,5 jam, dampaknya cukup membuat perut
saya mengadakan pemberontakan, saya segera mencari warung makan dan ternyata
teman saya sudah sampai disana (efek ujian luar biasa). “gimana tadi, bisa ga?”
Tanya saya. Teman saya Cuma bisa ketawa dan mengajak saya makan siang. Perut
kenyang, ibadah senang, sesi 2 pun segera di laksanakan. Kami berpisah menuju
kelas masing – masing untuk melaksanakan sesi 2. Untungnya sesi 2 ini tidak
terlalu banyak soal dan di beri waktu 2 jam. Semangat saya membara agar segera
cepat selesai karena bis menuju bekasi jam 5 akan berangkat.
Semua misi di UGM telah kami lalui dengan
baik, pengalaman yang indah, kemandirian, dan yang lebih penting, semangat yang
tak lekang oleh waktu. Kami hanya berusaha dan Allahlah yang menetukan.Pengalaman
dan teman baru siap menyapa kehidupan kami selanjutnya. Selamat tinggal Yogya.
kisah perjalanannya seru juga.
BalasHapussampai hafal betul kapan dilahirkan dan kapan masa-masa sekolah.