Semua
punya nama dan semua punya cerita.
Angkatan
2004, namanya saat itu, ketika awal saya memulai perkuliahan di UNJ, Ilmu Agama
Islam. Di Jurusan IAI (Ilmu Agama Islam) kebetulan masih 3 angkatan, yaitu
angkatan 2002, 2003 dan yang baru ini adalah angkatan 2004 (saat ini sudah
sampai angkatan 2012). Kebetulan sekali angkatan 2004 ini adalah angkatan yang
unik dan kreatif (kata dosen-dosen sih bilangnya troublemaker semua ada di
angkatan ini hehehehe).
Perkuliahan
dimulai, pembagian kelas dan jadwal sudah saya dapatkan. Yang unik dalam pembagian
kelas ini adalah kelas A (lulusan pesantren) dan kelas B (lulusan SMA). Kalau
sudah berani masuk jurusan Ilmu Agama Islam, maka sudah harus siap pula bahasa
Arab dan kaidah-kaidahnya (seperti Isim, Fiil dan teman-temannya). Saya tidak
terpikir ketika masuk jurusan ini harus bisa bahasa Arab, sudah masuk air
terpaksa harus basah dan mau tidak mau harus belajar ekstra bahasa Arab ini
agar tidak terlampau jauh.
Dalam
kelas B hanya ada 17 siswa dan sisanya berada di kelas A, untungnya di kelas B
ada teman satu perjuangan ketika OSPEK dulu, Ahmad Syaukani namanya (nanti ada
kisah tersendiri tentang dirinya). Berbahagialah hati ini, setidaknya masih ada
teman yang masih sama-sama kurang dalam bahasa Arab (ga bisa bahasa Arab
bangga, harus bilang ‘WOW’ gitu, istilah anak Alay).
Dalam
pembagian kelas A dan B, yang awal pikir saya kuliah bisa kumpul lagi dan
ketawa bersama lagi ternyata tidak, tapi untungnya pemisahan ini hanya dalam
pelajaran bahasa Arab, sisanya saya bisa satu kelas bersama teman-teman OSPEK
dulu. Ketika saya dan teman-teman saya berada dalam satu kelas, maka satu
kekonyolan akan menghiasi dalam kelas, suasana kelas hidup, tidak sunyi.
Ada
beberapa kisah yang menceritakan gelar angkatan 2004 sebagai troublemaker.
Kisah
pertama,
Semester
awal, yang seharusnya saya dan teman-teman mengikuti perkuliahan dengan baik,
kalau bisa tidak ada stempel merahnya di hadapan dosen, malah kami melakukan
hal sebaliknya. Tidak tanggung-tanggung, kami melakukannya ketika KaJur (Ketua
Jurusan) kami yang mengajar.
Begini
ceritanya, ketika awal kuliah, setiap jurusan harus mengikuti tes toefl yang di
lakukan oleh pihak Lab. Bahasa. Kebetulan juga ketika test toefl dilaksanakan
bersamaan dengan kegiatan kuliah kami. Waktu itu mata kuliah Ulumul Qur’an,
Chudlori Umar pengajarnya (Kajur Ilmu Agama Islam, ketika saat itu). Mau tidak
mau kami semua mengikuti test toefl dan memboloskan diri pada hari itu.
Kami
kira tidak akan terjadi apa-apa karena kami hanya satu kali meninggalkan mata
kuliah tersebut, dan alasan kami bolos juga mengikuti test toefl. Ternyata
alasan seperti itu tidak di terima, mau gimana lagi, kesalahan kami adalah
bolos dan Dosen yang kami tinggalkan adalah
Ketua Jurusan. Untung hukumannya tidak terlalu berat cuma membuat surat
pernyataan dan ikrar janji ulang untuk tidak bolos lagi pada mata kuliah Ulumul
Qur’an. Setelah itu kami tidak bolos lagi pada mata kuliah Ulumul Qur’an dan
angkatan 2004 telah membuat sejarah, hanya angkatan kami yang berani
meninggalkan kelas alias bolos pada saat Kajur (Ketua Jurusan) yang mengajar
(dari angkatan 2002 sampai angkatan 2012, tidak ada yang berani).
Kisah
kedua,
Kisah
selanjutnya masih tetap sama, tetap di bolos kuliah (saya tidak ikut bolos
karena saya anak sholeh, rajin sholat dan mengaji, jadi ga mungkin bolos lah
hehehehe). Ketika itu mata kuliah Qiroatun Nushus, Abdul Kabeer sebagai
pengajarnya. Dalam mata kuliah tersebut hanya di perbolehkan 2 bahasa, bahasa
Inggris dan bahasa Arab. Mengapa hanya 2 bahasa ?? jawabannya karena dosen
pengajarnya tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan dalam bahasa
Indonesia ketika di kelas dilarang, menguacapka 1 kata berbahasa Indonesia,
maka harus mengeluarkan zakat mal sebesar 200 rupiah (kalau 100 kata bahasa
Indonesia berarti 20ribu harus dikeluarkan, pantesan kalau di kelas pada sepi).
Dosen kami ini berasal dari maroko dan beliau sedang melanjutkan studi S2-nya
di UNJ.
Awal
mulanya ide bolos itu dari saya dan Arista Darmawan, tapi saya dan Aris tidak
ikut-ikutan bolos. Aneh memang, punya ide tapi tidak melaksanakan. Inilah
strategi agar tidak di hukum satu kelas lagi. Di dalam kelas hanya ada kami
berdua, tak lama kemudian ustadz. Abdul Kabeer masuk ruang kelas, memasang
ekspresi muka kaget. Ternyata di kelas hanya ada dua siswa saja. Lalu kami di
suruh mencari teman-teman yang bolos, Aris pura-pura menelpon teman-teman dan
katanya mereka sudah sampai di terminal pulo gadung (saya melihat Aris yang
pura-pura telpon sambil menahan tawa). Akhirnya ustadz. Abdul Kabeer menyuruh
kami untuk menyusul mereka dan menyuruh mereka kembali ke dalam kelas. Kami mengiyakan
dan kami keluar kelas tapi tidak untuk menyusul teman kami melainkan kami
mencari makan di La fonte. Tidak perlu capek melainkan perut terisi, kenyang.
Cukuplah dua kisah tersebut yang menyebabkan angkatan 2004 disebut sebagai
troublemaker (hanya angkatan 2004 yang mempunyai gelar seperti ini, angkatan
lain ga punya #angkatkerahbaju).
Mengingat
kenangan seperti ini hanya bisa tersenyum kembali, kok bisa punya ide bolos
bisa sampai dua kali. Angkatan 2004 kelas Troublemaker, memang benar, kami
bangga mendapatkan gelar tersebut. Kebersamaan dan Kekompakan karena sebab
Troublemaker itulah yang menyebabkan kami bangga. Walaupun terpisahkan dengan
kelas A dan B, kami tidak mengenal perbedaan baik, kaya miskin, pintar bodoh,
kami adalah angkatan 2004 dan kami adalah satu.
Semua
punya nama Troublemaker dan semua punya cerita Troublemaker. Kebersamaan dan
kekompakan yang pernah kita lalui bersama, akan selalu terus dirindukan,
menjadi lembaran-lembaran sejarah dalam hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar