Pages

Minggu, 22 September 2013

Harie's Notes 4



Semua punya nama dan semua punya cerita.
Angkatan 2004, namanya saat itu, ketika awal saya memulai perkuliahan di UNJ, Ilmu Agama Islam. Di Jurusan IAI (Ilmu Agama Islam) kebetulan masih 3 angkatan, yaitu angkatan 2002, 2003 dan yang baru ini adalah angkatan 2004 (saat ini sudah sampai angkatan 2012). Kebetulan sekali angkatan 2004 ini adalah angkatan yang unik dan kreatif (kata dosen-dosen sih bilangnya troublemaker semua ada di angkatan ini hehehehe).
Perkuliahan dimulai, pembagian kelas dan jadwal sudah saya dapatkan. Yang unik dalam pembagian kelas ini adalah kelas A (lulusan pesantren) dan kelas B (lulusan SMA). Kalau sudah berani masuk jurusan Ilmu Agama Islam, maka sudah harus siap pula bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya (seperti Isim, Fiil dan teman-temannya). Saya tidak terpikir ketika masuk jurusan ini harus bisa bahasa Arab, sudah masuk air terpaksa harus basah dan mau tidak mau harus belajar ekstra bahasa Arab ini agar tidak terlampau jauh.

Dalam kelas B hanya ada 17 siswa dan sisanya berada di kelas A, untungnya di kelas B ada teman satu perjuangan ketika OSPEK dulu, Ahmad Syaukani namanya (nanti ada kisah tersendiri tentang dirinya). Berbahagialah hati ini, setidaknya masih ada teman yang masih sama-sama kurang dalam bahasa Arab (ga bisa bahasa Arab bangga, harus bilang ‘WOW’ gitu, istilah anak Alay).
Dalam pembagian kelas A dan B, yang awal pikir saya kuliah bisa kumpul lagi dan ketawa bersama lagi ternyata tidak, tapi untungnya pemisahan ini hanya dalam pelajaran bahasa Arab, sisanya saya bisa satu kelas bersama teman-teman OSPEK dulu. Ketika saya dan teman-teman saya berada dalam satu kelas, maka satu kekonyolan akan menghiasi dalam kelas, suasana kelas hidup, tidak sunyi.
Ada beberapa kisah yang menceritakan gelar angkatan 2004 sebagai troublemaker.
Kisah pertama,
Semester awal, yang seharusnya saya dan teman-teman mengikuti perkuliahan dengan baik, kalau bisa tidak ada stempel merahnya di hadapan dosen, malah kami melakukan hal sebaliknya. Tidak tanggung-tanggung, kami melakukannya ketika KaJur (Ketua Jurusan) kami yang mengajar.
Begini ceritanya, ketika awal kuliah, setiap jurusan harus mengikuti tes toefl yang di lakukan oleh pihak Lab. Bahasa. Kebetulan juga ketika test toefl dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan kuliah kami. Waktu itu mata kuliah Ulumul Qur’an, Chudlori Umar pengajarnya (Kajur Ilmu Agama Islam, ketika saat itu). Mau tidak mau kami semua mengikuti test toefl dan memboloskan diri pada hari itu.
Kami kira tidak akan terjadi apa-apa karena kami hanya satu kali meninggalkan mata kuliah tersebut, dan alasan kami bolos juga mengikuti test toefl. Ternyata alasan seperti itu tidak di terima, mau gimana lagi, kesalahan kami adalah bolos dan Dosen yang kami tinggalkan adalah  Ketua Jurusan. Untung hukumannya tidak terlalu berat cuma membuat surat pernyataan dan ikrar janji ulang untuk tidak bolos lagi pada mata kuliah Ulumul Qur’an. Setelah itu kami tidak bolos lagi pada mata kuliah Ulumul Qur’an dan angkatan 2004 telah membuat sejarah, hanya angkatan kami yang berani meninggalkan kelas alias bolos pada saat Kajur (Ketua Jurusan) yang mengajar (dari angkatan 2002 sampai angkatan 2012, tidak ada yang berani).
Kisah kedua,
Kisah selanjutnya masih tetap sama, tetap di bolos kuliah (saya tidak ikut bolos karena saya anak sholeh, rajin sholat dan mengaji, jadi ga mungkin bolos lah hehehehe). Ketika itu mata kuliah Qiroatun Nushus, Abdul Kabeer sebagai pengajarnya. Dalam mata kuliah tersebut hanya di perbolehkan 2 bahasa, bahasa Inggris dan bahasa Arab. Mengapa hanya 2 bahasa ?? jawabannya karena dosen pengajarnya tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan dalam bahasa Indonesia ketika di kelas dilarang, menguacapka 1 kata berbahasa Indonesia, maka harus mengeluarkan zakat mal sebesar 200 rupiah (kalau 100 kata bahasa Indonesia berarti 20ribu harus dikeluarkan, pantesan kalau di kelas pada sepi). Dosen kami ini berasal dari maroko dan beliau sedang melanjutkan studi S2-nya di UNJ.
Awal mulanya ide bolos itu dari saya dan Arista Darmawan, tapi saya dan Aris tidak ikut-ikutan bolos. Aneh memang, punya ide tapi tidak melaksanakan. Inilah strategi agar tidak di hukum satu kelas lagi. Di dalam kelas hanya ada kami berdua, tak lama kemudian ustadz. Abdul Kabeer masuk ruang kelas, memasang ekspresi muka kaget. Ternyata di kelas hanya ada dua siswa saja. Lalu kami di suruh mencari teman-teman yang bolos, Aris pura-pura menelpon teman-teman dan katanya mereka sudah sampai di terminal pulo gadung (saya melihat Aris yang pura-pura telpon sambil menahan tawa). Akhirnya ustadz. Abdul Kabeer menyuruh kami untuk menyusul mereka dan menyuruh mereka kembali ke dalam kelas. Kami mengiyakan dan kami keluar kelas tapi tidak untuk menyusul teman kami melainkan kami mencari makan di La fonte. Tidak perlu capek melainkan perut terisi, kenyang. Cukuplah dua kisah tersebut yang menyebabkan angkatan 2004 disebut sebagai troublemaker (hanya angkatan 2004 yang mempunyai gelar seperti ini, angkatan lain ga punya #angkatkerahbaju).
Mengingat kenangan seperti ini hanya bisa tersenyum kembali, kok bisa punya ide bolos bisa sampai dua kali. Angkatan 2004 kelas Troublemaker, memang benar, kami bangga mendapatkan gelar tersebut. Kebersamaan dan Kekompakan karena sebab Troublemaker itulah yang menyebabkan kami bangga. Walaupun terpisahkan dengan kelas A dan B, kami tidak mengenal perbedaan baik, kaya miskin, pintar bodoh, kami adalah angkatan 2004 dan kami adalah satu.
Semua punya nama Troublemaker dan semua punya cerita Troublemaker. Kebersamaan dan kekompakan yang pernah kita lalui bersama, akan selalu terus dirindukan, menjadi lembaran-lembaran sejarah dalam hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Telah Membaca Tulisan di petualanganbaru.blogspot.com
 
Mari berpetualang di petualanganbaru.blogspot.com
Mari berpetualang di petualanganbaru.blogspot.com
Mari berpetualang di petualanganbaru.blogspot.com