Pages

Minggu, 20 Oktober 2019

Ayah, aku rindu


“Teruntuk mereka yang sedang berjuang dan menantikan perjuangan. Pilu hati mengingatmu. Hanya kata maaf yang bisa terlantunkan disaat ini. Kerena masih merepotkanmu. Untaian doaku selalu besertamu. Rasa terimakasihku pun mengiringi langkahku.”

Kutuliskan sepucuk kisah yang begitu bermakna. Merupakan sandiwara dalam akhir sayonara kehidupan Terhadap kasih sayang yang tidak akan pudar sepanjang masa. Ayah di balik tirai senja ini, izinkanlah putra sulungmu mengenang masa lalu. Mengenang dengan iringan kerinduan yang semakin bertalu. Semakin merindu ketika gerombolan burung camar dalam perjalanan ke sarang. Mengingatkan kesabaranmu dalam mendidik anakmu. Dengan ditemani kawan derai ombak ini, kuingat kembali kenangan tatkala belajar ketabahan bersamamu. Air mata menetes tak kuasa menahan kelu lidah dan dekapan perasaan penuh rindu.

Ayah, kasih sayang dan cintamu telah menghantarkan anakmu belajar nan jauh. Begitu jauh, hingga wajahmu tak sanggup kubayangkan di ujung laut sana. Kerinduan akan senyuman dan dekapanmu begitu mencekam. Hingga selalu terbayang dermaga ini merupakan jalan pulang menuju kampung halaman.
Ini hanyalah sekilas kisah kecil dalam diriku. Sekilas kisah tentang perjalanan belajar yang begitu bermakna. Mengandung sayatan-sayatan arti kehidupan tentang cinta dan kasih sayang seorang ayah. Ketabahan dan kesabaran yang ayah miliki, menghantarkan anak sulungnya untuk terus belajar dalam keterbatasan yang menghimpit.
Tepi bibir pantai ini menjadi saksi bisu, akan curahan perasaan nan pilu. Kenangan muncul silih berganti dalam mengingat perjalanan masa kecil dulu. Ayah, engkau bagaikan oase dalam hidupku. Bermacam hambatan dan cobaan dalam hidup. Engkau jadikan makna sebagai pengganti proses belajar. Engkau selalu menanamkan pendidikan dalam setiap sendi kehidupan. Tidak hanya kecerdasan dalam berpikir, namun ketajaman menggunakan hati dalam menghargai orang lain.
Teringat tatkala engkau pertama kali menghantarkanku untuk masuk ke sekolah. satu demi satu sekolah tiada yang menerima karena keterbatasan dalam diriku. Namun kegigihan membuat engkau terus berjalan, berkilometer terus engkau telusuri, demi untuk membuka sedikit demi sedikit pintu harapan masa depan. Masa depan yang entah tak tahu bagaimana putra sulungmu mempertanggungjawabkan.
Ayah selalu mengatakan bahwa kita merupakan keluarga yang sedehana. Berbeda dengan kebanyakan tetangga kita yang serba kecukupan. Masih membekas dalam ingatan. Ketika dalam keheningan sholat isya, ayah digiring keluar dari surau peribadatan. Putramu menangis melihat ayah difitnah dan dilecehkan. Mengapa ayah waktu itu melarang putramu marah untuk memukuli mereka. Mengapa ayah menahan putramu yang tak tertahankan dalam linangan air mata. Ayah memang selalu mengajarkan tentang sikap rendah hati, menghargai dan menyayangi orang lain sekalipun kita harus diselimuti kehinaan dan cacian oleh mereka. Namun tidak sepantasnya ayah mendapat perlakukan seperti ini.
Waktupun terus berputar, menghantarkan putramu kepada gerbang pendidikan yang lebih tinggi. Ayah, aku ingat ketika engkau mengusirku dengan kasih sayangmu. Engkau putuskan aku untuk belajar di pesantren. Engkau selalu menyisipkan nasihat akan bekal cahaya ilmu agama. Ilmu yang akan menjadi lentera dalam kegelapan kedzaliman. Aku tahu bahwa ini berat bagiku. Begitupun berat bagimu. Tak kuasa air mata menetes, ketika berpamitan denganmu. Tampak terlihat urat-urat wajahmu menandakan teramat berat engkau berpisah denganku. Namun engkau tetap berada dalam pendirian kuatmu ayah. Dengan berkata terbata engkau mengatakan jika seorang laki-laki harus kuat. Karena engkau selalu berharap putramu membawa lentera di masa depan. Menghadirkan senyuman harapan dalam setiap keterbatasan. Dan satu pesan lagi darimu yang membuat terisak tangis dalam jiwaku ayah. Engkau tak izinkan aku pulang sebelum terdapat pancaran lentera keluar dari hatiku.
Sesaat membuat hening suasana dalam perpisahan itu. Menyayat dalam kesunyian relung kalbu. Dalam hati ini selalu berkata tak ingin meninggalkanmu sendiri ayah. Langkah demi langkah dan semakin jauh tapak kaki ini meninggalkanmu ayah. Hingga sampai hanya terlihat lambaian tanganmu yang mengiringi kepergianku. Selain air mata yang menjadi pelengkap dalam perpisahan itu.
Apa kabar ayah kutuliskan dalam sepucuk perasaan rindu. Sepuluh tahun berlalu dalam setiap goresan tinta ilmu. Sepuluh tahun itu putramu menunggu dan berharap. Akan perjumpaan indah bersamamu. Sepuluh tahun itu pula putramu memegang janji suci darimu. Kini putramu telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang kuat. Yang siap bertahan dalam setiap gelombang kehidupan dunia, yang juga siap dalam memancarkan lentera, dan berlayar dalam kebahagiaan menuju yang maha kuasa.
Ayah engkau telah mengirim putramu untuk berlayar dan beradu dengan asa. Sedangkan di sisi lain engkau mempertaruhkan jiwa dan raga dalam membiayai putramu. Tak lekang oleh waktu dan tak terbayang betapa letih dirimu. Engkau merelakan tubuhmu sayu dan kurus tersengat matahari.
Ayah semangatmu tidak akan pernah padam, walaupun dengan napas tersengal. Engkau tetap melangkah dan berlayar dalam serdadu perjuangan. Cinta dan pengorbanan meruntuhkan keletihan dalam dirimu. Air matamu menjadi penyubur akan masa depan buah hatimu. Terkadang engkau tetap belum bisa bernapas lega, ketika semua orang telah tenggelam dalam selimut kehangatan. Dengan ditemani angin malam, engkau tetap bekerja dengan membongkah sekeping demi sekeping batu. Engkau selalu beralasan belum lelah, walaupun ukiran penderitaan terpahat dalam bahumu. Begitu pula matamu yang terlihat sayu dan lesu.
Kini putramu telah merhasil dalam menyelesaikan pendidikan. Tak sabar lagi putramu menunggu bulan depan untuk berjumpa denganmu. Dengan ditemani suara desir pasir pantai ini. Putramu selalu membayangkan perjumpaan denganmu. Membayangkan ketika dari kejauhan melihat ayah sedang bergulat dengan pekerjaan. Setiap tapak kaki melangkah semakin mendekatkan jarak perjumpaan. Wajah ayah yang terlihat samar dari kejauhan mulai semakin tampak. Urat-urat yang terpahat dalam wajah ayah menandakan kedewasaan. Tangan ayah yang kaku tak pernah berhenti dalam melepas keringat dan peluh tubuh ayah.
Kaki putramu bergetar, ayah, air mata ikut menagis melihat pengorbananmu. Hati terasa terbungkus, membuat lidah dan tenggorokan seakan di cekal oleh bisu. Tak mampu mengatakan bahwa putramu kini berada di hadapanmu ayah. Ketika ayah memalingkan wajah melihat diriku. Sejenak wajah ayah terharu. Tak percaya melihat sandiwara kehidupan dalam diri ayah.
Dengan napas tersengal aku berlari dan memeluk tubuh ayah. Hingga dunia pun menagis terharu dalam sandiwara perjumapaan itu. Dalam hati pun terucap, “Terima kasih ayah, kasih sayang dan cintamu mengokohkan langkah perjalanan hidupku. Ketabahan dan kesabaran dirimu bukan lagi menjadi inspirasi dalam diriku. Tetapi menjadi inspirasi dari setiap inspirasi yang terpahat dalam jejak masa lalu. Luka dan dukamu akan segera terkikis oleh lentera. Lentera yang ayah jaga dengan air mata cinta dan juga kasih sayang.

“Ayah, dalam keterbatasanku untuk menemuimu, aku yakin Allah selalu menjagamu di manapun dirimu berada. Terima kasih karena telah mengantarkan diriku mengenal dunia ini. Mungkin aku tak pernah tahu, bahwa ada doamu dalam setiap jejak langkahku. Mungkin akan selalu ada harapmu dalam setiap desah napasku.

Ya Allah, Rendahkanlah suaraku bagi mereka,  Perindahlah ucapanku di depan mereka
Lunakkanlah watakku terhadap mereka dan,  Lembutkan hatiku untuk mereka. Berilah mereka balasan yang sebaik-baiknya, atas didikan mereka padaku dan Pahala yang besar atas kasih sayang yang mereka limpahkan padaku, peliharalah mereka sebagaimana mereka memeliharaku.

Bila magfirah-Mu telah mencapai mereka sebelumku, Izinkanlah mereka memberi syafa'at untukku. Tetapi jika sebaliknya, maka izinkanlah aku memberi syafa'at untuk mereka, sehingga kami semua berkumpul bersama dengan santunan-Mu, di tempat kediaman yang dinaungi kemulian-Mu, ampunan-Mu serta rahmat-Mu. Sesungguhnya Engkaulah yang memiliki Kurnia Maha Agung, serta anugerah yang tak berakhir dan Engkaulah yang Maha Pengasih diantara semua pengasih.” (Haneen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Telah Membaca Tulisan di petualanganbaru.blogspot.com
 
Mari berpetualang di petualanganbaru.blogspot.com
Mari berpetualang di petualanganbaru.blogspot.com
Mari berpetualang di petualanganbaru.blogspot.com